Bojonegoro – Membicarakan persoalan pendidikan di Kabupaten Bojonegoro, memang tidak pernah ada habisnya. Salah satu persoalan mendasar yang mengemuka belakangan ini dalam dunia pendidikan adalah anggaran pendidikan. Namun, meski anggaran pendidikan sudah mencapai 20 persen sesuai amanat konstitusi, masih saja ditemukan berbagai pelanggaran atau dugaan penyimpangan di lapangan.
Salah satu yang marak dan terjadi belakangan ini adalah dugaan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oknum insitusi pendidikan. Kondisi ini menggambarkan pendidikan di Kabupaten Bojonegoro belum sepenuhnya lepas dari mentalitas korupsi, Senin (10/6/2024).
[irp]
[irp]
[irp]
Pinto Utomo,S.H.,M.H. Pengamat Pendidikan di Bojonegoro menjelaskan, maraknya pungli yang disebabkan mentalitas sebagian aparatur pemerintahan kita – termasuk yang bergerak di bidang pendidikan – adalah mentalitas oknum aparatur yang tidak pernah puas dengan harta atau kekayaan. Seperti halnya lintah darat yang tidak peduli meski sang murid sudah tidak berdaya.
“Mereka menjadikan murid/wali murid sebagai obyek yang mudah dibodohi dalam persoalan keuangan. Dengan beralasan “beban administrasi” pemberian biaya pendidikan yang bersifat gratis mendapatkan beban biaya tambahan sehingga membebankan para orang tua siswa.
Adanya praktik pungli di dunia pendidikan menunjukkan masih lemahnya pengawasan pemerintah daerah Kabupaten Bojonegoro dalam mengawal kebijakan yang digulirkan pihak Dinas Pendidikan. Seperti contoh kebijakan dalam mempertegas tidak bolehnya di adakan pelepasan, pungutan dalam bentuk sumbangan sukarela, sumbangan insidental, uang SPP, seragam dan lain sebagainya dalam kebijakan ini dapat dikatakan masih mengandung cacat dan lemahnya dari segi pengawasan / kontrol sehingga muncul pelaku pungli yang memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memperkaya diri sendiri secara melawan hukum.
[irp]
[irp]
Padahal berkali-kali, pihak pemerintah menegaskan pendidikan wajib selama 12 tahun gratis tis tis. Apa daya, kebijakan yang menguntungkan rakyat di Kabupaten Bojonegoro itu masih gagal diterjemahkan secara baik oleh para aparatur di bawahnya sehingga menimbulkan pelanggaran yang berdampak buruk bagi citra pendidikan khususnya di Bojonegoro.
Dalam suatu kesempatan, benar kiranya jika Pinto Utomo,S.H.,M.H. salah satu pengamat pendidikan yang juga Praktisi Hukum ini menyebut tindakan pungli sebagai ‘Susu Tante’ (Sumbangan Sukarela Tanpa Tekanan) Pernyataan itu dicetuskan mengingat selama ini pelaku pungli selalu memakai alasan klasik seperti biaya administrasi dan uang letih.
Para oknum / pelaku juga berlindung di balik penyataan sudah mendapatkan persetujuan orang tua wali murid dengan dalih kesepakatan sehingga pungutan-pungutan ( pungli) itu dilakukan tanpa tekanan. Padahal, ada mekanisme yang jelas sebelum penarikan pungutan di sekolah berjalan legal. Tidak mengherankan, kesan yang dimunculkan pungutan liar tak lebih dari sumbangan sukarela dengan besaran yang ditentukan sehingga mengabaikan norma, etika dan hukum yang ada.
Harus diakui, secara umum Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan memang membolehkan penarikan pungutan di sekolah. Mekanismenya sekolah mengajukan penarikan pungutan dengan syarat disetujui orang tua siswa. Jika disetujui, usulan itu dapat diajukan kepada dinas pendidikan setempat untuk mendapatkan rekomendasi. Jika dirasakan sesuai kebutuhan sekolah dan sudah dimusyawarahkan dengan orang tua siswa,sehingga pungutan itu legal dan sah secara hukum.
[irp]
[irp]
Tapi ironisnya, selama ini jika dicermati pungutan yang dilakukan sekolah berjalan sepihak dan cenderung sistematis. Dikatakan sepihak, sebab tak ada persetujuan sebelumnya dengan orang tua siswa sehingga ilegal secara hukum. Bersifat sistematis sebab pada dasarnya kepala sekolah mengetahui pungutan liar itu, namun terkesan membiarkan sehingga dirasakan wajar. Padahal selayaknya kepala sekolah mampu menjalankan kemampuan untuk menyusun program sekolah, mengawasi kinerja bawahannya dan memberdayakan sumber daya sekolah secara optimal dan efektif sehingga perilaku pungli tidak tumbuh berkembang di institusi pendidikan.
Maraknya pungli tentu sangat menyedihkan pasalnya pelaku pungutan liar dapat dijerat hukum karena memenuhi unsur pidana sesuai pasal 3 dan pasal 8 UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Para pelaku dapat diancam dengan hukuman pidana minimal 1 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjaraserta denda minimal 50 juta dan maksimal 1 miliar sebagaimana dalam pasal 3 UU Tipikor serta melanggar pasal 8 yang dapat diancam pidana maksimal 3 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara serta denda pidana minimal 150 juta dan maksimal 750 juta.
Berkaitan dengan adanya pungli, sudah seharusnya pemerintah Kabupaten Bojonegoro bertindak tegas. Apa pun alasannya, peserta didik harus diselamatkan dari cengkeraman kapitalis kelas teri yang menjadikan lembaga sekolah sebagai ladang bisnis. Tidak sepantasnya, kejadian di semua sekolah yang ada di Bojonegoro terus dibiarkan sehingga menjadi preseden buruk dalam lingkungan pendidikan yang sejatinya berfungsi melahirkan manusia terdidik dan memiliki akhlak yang baik. Tujuan mulia pendidikan jangan sampai terkotori kejahatan korupsi seperti pungli yang menimbulkan keresahan dan keteladanan yang buruk dalam lingkup pendidikan.(Red)
Kontributor Liputan : Laela
Redaktur : Sholeh