Oleh :Febi Ni’matus salsabiela
UIN WALISONGO SEMARANG
Tindakan yang disesalkan oleh aparat penegak hukum terhadap proses pidana terhadap Valencia (V), warga Karawang yang dituntut 1 tahun penjara atas kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) psikis kepada suaminya, Chan Yu Chin (CYC pria asal Taiwan.
Di lansir dari Tirto.id, kasus ini berawal dari laporan V terhadap CYC atas kasus penelantaran istri dan anak pada September 2020. V kesal dan kerap memarahi suaminya itu karena suka pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. CYC kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2020. Setelah itu, CYC melaporkan V dengan tuduhan melakukan KDRT psikis dan mengusir dari rumah. Nahasnya, V ditetapkan sebagai tersangka pada Januari 2021 oleh Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat.
Kronologi Kasus
Melansir dari Tirto.id, Setelah menikah pada 2011 dan mengikuti suaminya ke Taiwan, korban baru mengetahui bahwa Chan, telah berbohong tentang status perkawinannya. Valencya juga menjadi pihak pencari nafkah utama sementara suaminya kerap pulang dalam kondisi mabuk. Korban juga menghadapi kekerasan ekonomi akibat utang suaminya itu, termasuk untuk mengembalikan pinjaman atas mahar perkawinannya. Hal ini menyebabkan Valencya memilih kembali ke Indonesia, mengembangkan usahanya dan bahkan menjadi sponsor bagi Chan untuk mendapatkan kewarganegaraan di Indonesia.
CYC yang kerap mabuk dan berutang terus berlanjut. Atas peristiwa KDRT berlapis dan berulang serta dalam kurun waktu yang lama, V kemudian menggugat cerai
Gugatan ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Karawang pada Januari 2020 dengan memberikan hak asuh anak kepada ibu dan pihak Chan harus memberikan nafkah dan biaya pendidikan per bulannya bagi kedua anaknya.
Menyikapi hasil putusan tentang perceraiannya, kata Aminah, pada Juli 2020 Chan telah mengajukan banding dan meminta pembagian harta gono-gini dibagi rata. Pengadilan Tinggi Bandung telah memeriksa dan menguatkan keputusan pengadilan tingkat pertama.
Atas putusan banding, Chan kemudian mengajukan permohonan kasasi yang kemudian ia cabut pada Maret 2021, sehingga putusan pengadilan tingkat pertama itu telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pada Juli 2020, Chan sebagai mantan suami melaporkan V atas tindak pidana KDRT psikis yakni pasal 45 UU Penghapusan KDRT karena mantan istrinya telah mengusirnya dari rumah dan menghalanginya bertemu dengan anak. Chan beranggapan bahwa mereka terikat perkawinan karena proses banding putusan cerai masih berjalan. Atas pelaporan ini, Valencya juga melaporkan Chan pada September 2020 atas tindak pidana.
Tindakan saling lapor melapor ini juga berimbas kepada V, yang mana terkait kasus KDRT yang dilaporkan oleh saudari V tertunda proses hukumnya, kasus yang memosisikannya sebagai terlapor oleh mantan suaminya justru berlanjut. V ditetapkan sebagai tersangka kasus KDRT. Karena seharusnya Korban V tidak boleh diposisikan sebagai terlapor tindak pidana KDRT berdasarkan fakta serangkaian kekerasan yang dialami oleh korban dalam relasi perkawinannya dengan pelaku
Menurut penulis, proses tuntutan ini masuk kedalam kekerasan berlapis yang diaalami oleh pihak perempuan, Dalam kasus ini V sudah menjadi korban terlebih dahulu, namun saat ini harus menjalani proses pidana/tuntutan pidana yang mana sangat jauh dari rasa keadilan. Tuntutan V pun berbuah kontraversi. Komnas perempuan, sebagai pihak pendamping V menilai aparat penegak hukum, yaitu kepolisian dan kejaksaan tidak berspektif pada korban dalam menangani kasus KDRT tersebut.
Penelantaran Ekonomi dan Beban Ganda Perempuan
Komisioner Komisi Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Veryanto Sitohang mengatakan, suami sebagai kepala keluarga yang tidak memberikan nafkah maupun kasih sayang pada keluarganya adalah wujud penelantaran ekonomi. Penelantaran tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk KDRT berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU PKDRT.
Ia melanjutkan, penelantaran ekonomi itu menunjukkan perempuan dan anak adalah korban KDRT yang berujung gugatan cerai dari perempuan. Dalam keluarga Indonesia, ironisnya posisi perempuan pencari nafkah tetap dianggap pencari nafkah tambahan. Kesulitan ekonomi mengakibatkan perempuan juga mengalami kekerasan bentuk lain, seperti fisik, psikis, bahkan seksual.
Kesalahan Penerapan Hukum
Komnas Perempuan menilai bahwa aparat penegak hukum menggunakan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) untuk mengkriminalisasi perempuan korban KDRT merupakan kesalahan penerapan hukum. Meski tidak hanya melindungi perempuan, UU PKDRT mengenali kerentanan khas perempuan sebagaimana tampak pada: Huruf c pertimbangan UU PKDRT, menyatakan bahwa: “korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan”.
UU PKDRT merupakan pengaturan yang memiliki kekhasan spesifik yang mensyaratkan pemeriksaan pada konteks relasi kuasa antara pelaku dan korban. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2021, sebanyak 36 persen dari 120 lembaga layanan menyampaikan bahwa terjadi kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT.
Dalam banyak kasus, laporan yang mengkriminalkan perempuan korban KDRT justru lebih cepat diproses daripada laporan KDRT dari pihak perempuan. Kedua laporan tersebut kerap diperlakukan sebagai kasus yang terpisah. Kriminalisasi ini dimungkinkan karena pemahaman aparat penegak hukum yang belum utuh mengenai persoalan ketimpangan relasi berbasis gender dalam perkawinan antara suami dan istri.
Solusi dalam Penanganan Kasus V
Ketua Pengadilan Negeri Karawang meminta kepada Majelis Hakim yang Memeriksa Perkara PBH V untuk mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Kemudian penggunaan putusan cerai No. 71/Pdt.G/2019/PN Kwg jo. No. 250/PDT/2020/PT BDG yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pertimbangan untuk melihat secara utuh kondisi perkawinan keduanya dan relasi kuasa di antara terlapor dan pelapor dan memutus bebas sebagai salah satu contoh untuk menghentikan tindak kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT.
Kemudian meminta Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan panduan penanganan kasus KDRT dimana kedua belah pihak saling melaporkan dengan sangkaan pelanggaran UU PKDRT untuk satu peristiwa yang sama