Bojonegoro – Banyaknya Penarikan dengan Dalih kesepakatan bersama antara paguyuban dengan orang tua wali murid, menjadikan paguyuban lebih leluasa dalam melakukan pungutan liar yang terjadi di dunia pendidikan kab.Bojonegoro. Hal itu menarik perhatian Manan selaku ketua Perkumpulan Independen Peduli Rakyat Bojonegoro (PIPRB) yang beralamat di jalan kapten Rameli Lr 5 kelurahan Ledok Wetan Kec Bojonegoro, ikut berkomentar dalam pungli yang semakin terjadi di dunia pendidikan. Rabo,5/6/2024
“Untuk diketahui sejatinya paguyuban wali murid atau siswa di sekolah adalah upaya merekatkan para orang tua siswa untuk berpartisipasi dalam kemajuan pendidikan. Bersama mengawasi perkembangan dan kemajuan pendidikan anak, juga sebagai pengawas eksternal untuk mencegah potensi maladministrasi di sekolah, ungkap Manan selaku ketua LSM PIPRB.
[irp]
[irp]
[irp]
Paguyuban mestinya menjadi wadah kontrol sosial, menjembatani kesenjangan yang kian jauh, gotong royong dengan masyarakat, memberi masukan positif bagi pendidikan serta tauladan dalam semangat menegakkan amar ma’ruf artinya menyuruh orang berbuat baik, sementara nahi munkar artinya melarang orang berbuat yang jahat, tambah Manan.
Lebih jelas ungkap Manan, Sayangnya, Paguyuban disejumlah sekolah beberapa tahun terakhir bermetamorfosis menjadi pintu masuk pungutan dan akhirnya mencoreng kembali wajah pendidikan yang khitoh -nya seharusnya menjadi sumber nilai kejujuran, etika, keadilan, dan kebajikan.
“Berbagai manuver yang dilakukan oleh oknum Paguyuban terjadi. Bermula dari inisiatif sendiri atau yang paling banyak permintaan sekolah untuk meningkatkan sejumlah fasilitas: mulai dari ruang belajar, tempat ibadah, persetujuan pembelian LKS, kalender sekolah, seragam sekolah, biaya perpisahan ditempat-tempat mahal, tambahan biaya les guru di sekolah, kenang-kenangan untuk guru, kontribusi untuk guru/ wali kelas dan modus operandi lainnya, tambah Manan.
[irp]
Manan juga memperjelas, Para manager atau pengurus utama Paguyuban biasanya para orang tua yang memiliki kemampuan finansial yang cukup/lebih, pejabat/tokoh, serta mempunyai pengaruh komunikasi dengan sekolah, bahkan beberapa adalah kerabat atau teman dekat kepala/guru di sekolah.
Demi kemajuan anak-anak mereka serta dorongan sekolah untuk partisipasi pendidikan, para orang tua melalui pengurus paguyuban berinisiasi mengelola sumbangan. Sekali lagi niat awal untuk membantu sekolah, hal itu yang di gunakan untuk memicu terjadinya pungli, tambah Manan.
“Akhirnya dibuat suatu grup antar mereka (biasanya per kelas/per angkatan), disebarkan bahwa diperlukan biaya sumbangan sebesar sekian dengan batas waktu dan jumlah yang telah ditetapkan serta dikumpulkan ke salah satu orang pengurus. Lagi-lagi dalilnya demi membantu sekolah, imbuhnya.
Faktanya ada sebagian besar orangtua dari kalangan kurang mampu, namun mereka hanya bisa diam atau hanya bisa pasrah. Padahal hati mereka menolak, tidak ikhlas. Namun karena unsur psikologis dan beban mental yang tak bisa diungkapkan akhirnya orangtua yang kurang mampu ini setuju meski sebenarnya sangat berat.
Manan juga menemukan ada juga pengurus Paguyuban dari unsur ibu-ibu sosialita, yang senang berkumpul-kumpul di sekolah atau jalan-jalan selagi anak-anak mereka jam belajar. Uniknya, para ibu sosialita ini dengan segala kelebihannya mengakomodir sumbangan les tambahan sekolah, perpisahan, dan biaya jasa guru dengan nilai dan waktu yang ditentukan.
Para orang tua lain pun terpaksa ikut, pasrah, meski hati menolak. Namun terlanjur karena takut dan khawatir apabila berdampak pada psikologi anak anak mereka, yang dibully dan dijauhi temanya karena pihak orang tuanya yang menolak usul dari paguyuban.
Para orang tua yang kurang mampu inilah yang biasanya datang konsultasi dan lapor ke para media atau ke pihak LSM dan berharap agar di bantu untuk menyuarakan apa yang dirasakannya. Mereka stres, bingung dan beberapa menangis karena tak tahu cara keluar atau solusi atas masalah ini.
Dan semuanya itu bisa terjadi disebabkan karena kurang tegasnya aturan pemerintah. Seharusnya aturan itu dipertegas dengan melarang memungut dengan dalih apapun, walau melalui paguyupan, atupun dengan dalih sumbangan sukarela. Dan apabila hal itu masih saja dilakukan maka pihak pemerintah setempat seperti pihak Dinas Pendidikan bisa memberikan sanksi tegas terhadap sekolah tersebut.
Kisah serupa juga sering dilaporkan oleh para orang tua wali murid ke Media dan LSM. Dampaknya beragam, dengan ditahannya ijazah, tak bisa ikut ujian, mendapatkan perlakuan berbeda, bullying , beban mental, dan lain sebagainya. Padahal paguyuban bukan komite sekolah, tapi fungsinya sama dengan sekolah.
Persoalan ini setiap tahun selalu terjadi, selalu dilaporkan dan selalu diangkat sebagai berita. Tak sekali dua kali pemberitaan yang menyuarakan apa yang dikeluhkan oleh orang tua dikeluarkan, bahkan pihak media saat konfirmasi juga memberi masukan yang agar ditinjau ulang dengan keputusan yang diambil oleh pihak paguyuban tetapi tidak didengar, selalu beralasan dengan Dalih kesepakatan bersama.
Korektif pihak LSM PIPRB : Dinas Pendidikan dan sekolah terkesan lalai dan abai. Seolah mata utama tanpa ada sistem deteksi dini. harusnya membuat aturan mengikat serta sanksi tegas agar masalah pungutan ilegal di sekolah ini tidak terus berulang dan bisa diakhiri segera.
Berbagai aturan sebagai acuan sebenarnya seringkali disampaikan untuk dikaji, dipelajari, disosialisasi dan diaplikasi. Diantaranya: UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar, PP No 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan Permendikbud No 75 Tahun 2016 tentang Komite sekolah Tapi lagi-lagi fungsi pengawasan selalu lemah.
Ke depan perlu ada ketegasan. Sekolah dan dinas harus sepakat untuk tidak melakukan patgulipat, tutup mata, atas masalah sumbangan dan pungutan. Para wakil rakyatpun jangan acuh tak acuh. Jangan jadikan pendidikan sebagai tempat ketidakjujuran, ketidakadilan dan menerima sesuatu yang haram harapan semua orang tua, tegas Manan.(Red)
Kontribusi liputan : Laela